Cerpen ini adalah cerpen yang pernah aku ikutkan dalam lomba Cerdak (Cerpen Dadakan) yang diadakan setiap bulannya oleh Story Magazine. Biasanya, Bunda Reni (Managing editor Story) memposting penggalan dari cerdak yang akan peserta buat. Lalu peserta harus mengembangkan penggalan cerita yang diberikan oleh Bunda Reni.
Aku suka sama lomba Cerdak, tapi sayang belum pernah menang. Cerpen di bawah ini juga gak menang. But it's nothing. Tetap semangat! Yaudah, langsung aja dibaca, ya. Semoga memuaskan dan maaf kalau masih kurang bagus :).
Dari Skenario Jadi Cinlok
Sebentar
lagi tahun baru, Desember akan berlalu. Semua orang sedang merencanakan acara tahun
baru mereka. Menyambut tahun 2014. Tapi tidak dengan Aaron yang sedang
meggalau. Udah hampir setahu Aaron menyukai Sarah, cewek tetangga sebelah
rumah. Aaron selalu berharap Sarah akan memberikan lampu hijau kepadanya, tapi
itu seperti mimpi indah yanng hanya dapat Aaron rasakan saat dia tertidur.
Pernah Sarah memberikan lampu kuning kepadanya dan Aaron
pikir kalau Sarah sebentar lagi akan memberikan lampu hijau. Tapi ternyata
lampu kuning tersebut diberikan karena Sarah ada maunya. Sarah ingin menonjok
Aaron karena Sarah merasa terganggu dengan bunga yang selalu Aaron kirimkan ke
rumahnya.
“Calm
down aja, Ron. Besok tahun baruan, gue sama Sarah mau ke Monas. Lo mau ikut
gak?” tawar Andre yang sedang main ke rumahnya Aaron. Andre itu sahabatnya
Sarah dan juga temannya Aaron.
“Hah? Mau dong. Tapi kenapa harus ke Monas?” Aaron yang
sedang duduk di jendela spontan berdiri saking senengnya.
“Si Sarah tuh. Dia kepengen tahun baruan di puncak Monas.
Katanya biar bisa lihat kembang api
dari atas. Katanya lebih bagus.”
“Ooh begitu. Dia emang suka kembang api ya? Bukannya dia
sukanya petasan?” tanya Aaron dengan
muka polos.
“Gak beda jauh kali! Lagian kalo tahun baru kan identik
sama kembang api. Mau ikut kagak? Nanti kalau mau ikut gue bilang ke Sarah
deh.”
“Eh... jangan! Gue punya surprise buat Sarah. Awas kalau
lo ngomong ke Sarah. Nanti bisa-bisa dia malah ngelarang gue buat ikut.”
***
“Aaron! Keluar lo!”
Mendengar teriakan dari luar rumahnya, Aaron segera
keluar rumah. Agak geram juga sih, malem-malem lagi makan krupuk enak-enak malah diganggu. Tapi apa sih yang nggak buat
Sarah?
“Ada apa, babe?” tanya Aaron menghampiri Sarah. Tapi
bukannya dapet pelukan kayak yang Aaron harapkan, dia malah dapet jitakan dari
Sarah.
“Kenapa sih lo? Sakit tahu gak. Ada apa sih?” Aaron
memegangi kepalanya yang terasa sakit.
“Udah gue bilangin berkali-kali. Jangan panggil gue babe.
Gue bukan pacar lo.”
“Bentar lagi juga lo bakal jadi pacar gue kok. Ada apa?”
tanya Aaron sekali lagi.
“Lo tanya ada apa? Harusnya gue yang tanya ke elo.
Ngapain elo naruh bunga di depan rumah gue dan ternyata bunga itu ditempelin
petasan? Untung gue gak kenapa-kenapa. Tapi kasihan tuh Bi Minah. Tangannya
jadi sakit,” omel Sarah panjang lebar.
Dituduh seperti itu, Aaron gak terima. “Siapa juga yang
naruh bunga di depan rumah lo. Uang gue udah tipis buat beliin lo bunga tiap
hari, tapi lo gak pernah kasih perhatian ke gue. Boro-boro kasih perhatian, bilang
terimakasih aja gak pernah!”
“Salah sendiri. Lagian siapa yang minta lo kasih bunga ke
gue tiap hari? Terus siapa dong yang naruh bunga di depan rumah gue?” Sarah
mulai melunak.
“Mana gue tahu. Udah ah, gue lagi sibuk.” Entah kenapa,
Aaron jadi gak sabar ngehadepin sifat keras kepalanya Sarah. Dia masuk ke rumah
meninggalkan Sarah.
Sarah yang masih misuh-misuh kembali menuju rumahnya.
Sarah segera menuju kamar Bi Minah. “Gimana tangannya, Bi?” tanya Sarah
sesampainya di kamar Bi Minah.
“Agak mendingan, Non. Udah gak usah dijadiin masalah. Kan
Non Sarah sendiri kalau sekarang itu lagi musim petasan. Kata Non Sarah, kalau
gak main petasan katanya ketinggalan trend
yang sedang berkembang. Jadi, maklum aja kalau banyak orang iseng yang suka
mainan petasan.”
Pipi Sarah memerah mengingat kata-katanya kemarin ke Bi
Minah. “Aaron gak mau ngaku tuh, Bi.”
“Jangan asal tuduh, Non. Belum tentu Aaron yag ngelakuin
hal itu.”
***
“Bumi pasti beresolusi
mengelilingi matahari.”
“Salah dodol! Yang bener itu revolusi. Bukan resolusi.”
Andre mulai geram dengan temannya yang kadang-kadang suka lemot.
“Whatever. Yang penting gue masih mengharapkan lampu
hijau dari Sarah,” Matanya menerawang entah kemana.
“Gak nyambung. Udah deh, sekarang kita ke Monas. Udah mau
jam delapan.”
Mereka menuju Monas. Aaron udah gak sabar menunggu
saat-saat yang akan sangat mendebarkan.
***
“Hai, Aaron.” Jack merasa dirinya dipanggil.
“Sarah, jangan panggil gue Aaron. Syuting kita hari ini
udah berakhir. Panggil gue Jack.” Perintah Jack.
“Ok, deh. Tapi lo jangan manggil gue Sarah juga ya. Btw,
lo suka sama sifat Sarah di skenario gak?” tanya cewek yang berperan menjadi
Sarah.
“Gak banget. Sebel gue sama Sarah. Gue serasa jadi cowok
murahan yang mengemis cinta.”
“Hahaha... itukan cuman di skenario aja. Di dunia nyata
malah cewek-cewek yang ngemis cinta ke elo. Banyak yang suka elo.”
“Oh ya? Jangan-jangan lo juga suka ke gue ya?” canda Jack.
“Iya gak ya? Mau dikasih tahu gak nih? Gak usah ya. Gue
udah dijemput tuh sama Bokap. Bye.”
“Samantha!”
Cewek
yang dipanggil Samantha berhenti dari lari kecilnya. Dia menengok ke belakang.
“Ya?”
“Hati-hati,”
ujar Jack sedikit salting.
“Thanks.
Lo juga.” Dalam sekejap Samantha telah menghilang ditelan kegelapan.